Bergunanya Orang Bodoh dan Orang Tak Ahli Ibadah Sekalipun dalam Sebuah Komunitas
Oleh : Qusthalani*
Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali kita terjebak dalam standar-standar ideal seperti kepintaran, kesalehan, atau kemampuan akademik. Kita memuji yang cerdas, yang rajin ibadah, yang fasih bicara, dan yang tampak “bermanfaat” di mata umum. Namun di balik gemerlap kriteria itu, ada sosok-sosok yang kerap dianggap lemah, orang yang dianggap bodoh, atau mereka yang tidak menjalankan ibadah seperti salat. Dalam pandangan umum, mereka mungkin tampak kurang atau bahkan dianggap tidak berguna. Padahal, dalam kenyataannya, mereka tetap memiliki peran yang penting dan layak dihargai dalam sebuah komunitas.
Orang yang dicap bodoh biasanya hanyalah mereka yang tidak unggul dalam sistem pendidikan formal, padahal kecerdasan manusia sangat luas. Ada yang lemah dalam logika, tapi kuat dalam empati. Ada yang tak pandai merumuskan teori, tapi sangat cekatan bekerja. Mereka bisa jadi orang yang paling ringan tangan membantu tetangga, paling setia menjaga lingkungan, atau paling jujur dalam pekerjaan sederhana. Kebaikan seperti ini sering kali tak tercatat dalam laporan, tapi terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu juga dengan mereka yang tidak salat. Dalam komunitas religius, salat adalah ukuran utama kesalehan, tetapi tidak semua yang belum menjalankan salat berarti tidak memiliki nilai dalam hidup sosialnya. Ada orang yang belum salat tapi sangat menjunjung kejujuran, sangat dermawan, dan tidak suka menyakiti orang lain. Barangkali mereka sedang berada dalam proses pencarian atau pergulatan batin yang tak kita pahami. Dan selama itu, mereka tetap bisa menjadi bagian dari komunitas menjadi teman kerja yang baik, tetangga yang peduli, atau keluarga yang bertanggung jawab.
Komunitas tidak dibangun hanya oleh orang-orang yang sempurna dalam standar moral atau akademik, tetapi oleh kerja sama semua orang, dengan segala kekurangannya. Justru karena ada yang kuat dan ada yang lemah, komunitas bisa saling melengkapi. Orang yang kita anggap tak pandai bisa jadi pengingat agar kita tidak tinggi hati. Orang yang belum salat bisa jadi cermin bahwa hidayah itu milik Tuhan dan tak bisa dipaksakan oleh manusia. Dengan saling memahami, komunitas bisa menjadi tempat yang subur untuk semua bertumbuh, bukan ruang sempit yang hanya memuja yang sudah jadi.
Memandang orang lain dengan kacamata kegunaan sosial bukan berarti mengabaikan nilai-nilai agama atau etika, tapi justru memperluas makna kemanusiaan. Setiap orang, bahkan yang tampak tidak memenuhi standar umum, tetap punya tempat dan potensi. Kita hanya perlu sedikit lebih sabar, lebih rendah hati, dan lebih percaya bahwa kebaikan tidak selalu datang dari arah yang kita sangka.[]
Qusthalani, S.Pd.,M.Pd – Calon Ketua Wilayah IGI Aceh
Jurnal Pase Media Online Pase
