Tabiat Negeri Kiosin, Kewajiban Tugas Bersama, Hak adalah Tugas Mu
Dalam dunia pendidikan, guru sering disebut sebagai ujung tombak pembangunan bangsa. Namun, ironinya, perlakuan terhadap mereka sering kali tidak mencerminkan penghargaan yang seharusnya. Terlebih lagi, terdapat perbedaan mencolok dalam cara menangani kekurangan kewajiban dan kekurangan hak yang dialami para guru. Ketika guru menghadapi masalah dalam melaksanakan kewajibannya, seperti absen mengajar atau kurangnya jam kerja, pihak-pihak terkait akan dengan cepat bereaksi—melaporkan, menegur, bahkan memberikan sanksi. Namun, jika guru menghadapi kekurangan hak, seperti keterlambatan pembayaran tunjangan sertifikasi, kekurangan jam mengajar sehingga tidak bisa mendapatkan tunjangan sertifikasi, tidak jelasnya proses Pendidikan Profesi Guru (PPG), atau masalah administrasi lain yang merugikan mereka, respons yang muncul justru sepi, seakan-akan masalah itu tidak pernah ada.
Fenomena ini menunjukkan ketimpangan perlakuan yang menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa kekurangan kewajiban guru begitu cepat ditindak, sementara kekurangan hak mereka sering kali diabaikan? Pertanyaan ini menjadi relevan ketika kita melihat kasus-kasus nyata yang terjadi di lapangan.
Misalnya, jika seorang guru berhalangan hadir karena sakit atau alasan pribadi, berbagai pihak, mulai dari rekan sejawat hingga kepala sekolah, segera bereaksi. Tidak jarang, hal ini bahkan berlanjut ke laporan resmi ke atasan atau dinas pendidikan. Guru yang tidak hadir dianggap mencederai tanggung jawab profesionalnya, sehingga tindak lanjutnya dilakukan secara cepat dan tegas. Namun, jika seorang guru tidak mendapatkan haknya, seperti tunjangan profesi yang terlambat cair, jam kerja yang tidak mencukupi untuk sertifikasi, atau program PPG yang berlarut-larut tanpa kepastian, hanya sedikit pihak yang peduli atau mengambil tindakan.
Hal ini mencerminkan ketimpangan struktur dalam dunia pendidikan kita. Kekurangan kewajiban dipandang sebagai ancaman terhadap sistem, sedangkan kekurangan hak dipandang sebagai masalah pribadi yang tidak memerlukan perhatian serius.
Kekurangan Kewajiban: Mengapa Semua Sibuk Melapor?
Ketika seorang guru tidak memenuhi kewajibannya, reaksi berantai sering kali terjadi. Rekan sejawat cenderung merasa perlu melaporkan kejadian tersebut untuk “menjaga” sistem. Kepala sekolah akan mengambil langkah disiplin, dan dinas pendidikan tidak segan-segan memberikan teguran keras.
Alasan di balik reaksi ini bisa dimengerti. Kewajiban guru adalah bagian dari tanggung jawab profesional yang langsung berdampak pada siswa dan kualitas pendidikan. Ketidakhadiran guru dianggap menciptakan celah dalam proses belajar-mengajar, sehingga perhatian yang besar diberikan untuk mencegah terjadinya hal serupa di masa depan.
Namun, yang menjadi masalah adalah pendekatan yang berlebihan dalam menangani kekurangan kewajiban ini sering kali menimbulkan tekanan yang tidak proporsional bagi guru. Tidak jarang, seorang guru yang absen karena alasan mendesak, seperti sakit, tetap dihujani kritik tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas.
Kekurangan Hak: Mengapa Semua Diam?
Sebaliknya, ketika guru menghadapi kekurangan hak, respons dari pihak terkait cenderung pasif. Ambil contoh keterlambatan pembayaran tunjangan sertifikasi, begitu juga guru kekurangan jam mengajar sebagai syarat mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Bagi banyak guru, tunjangan ini bukan sekadar tambahan pendapatan, melainkan bagian integral dari pengakuan atas profesionalisme mereka. Ketika hak ini tidak diberikan tepat waktu, guru sering kali harus menanggung beban finansial tambahan, bahkan hingga meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, keluhan mengenai keterlambatan ini sering kali hanya berakhir sebagai keluhan di antara sesama guru. Sangat jarang ada tindakan konkret dari pihak terkait untuk menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Tidak ada laporan yang diajukan, tidak ada sidak, bahkan sering kali tidak ada komunikasi resmi yang menjelaskan penyebab keterlambatan tersebut.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus PPG bagi guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Proses yang berlarut-larut, kurangnya transparansi, dan ketidakjelasan kebijakan sering kali membuat para guru PAI merasa terabaikan. Padahal, mereka berhak mendapatkan kejelasan mengenai status dan masa depan profesional mereka.
Perbedaan perlakuan ini mencerminkan budaya “double standard” yang sudah mengakar dalam dunia pendidikan kita. Ada asumsi bahwa sistem pendidikan lebih penting daripada individu di dalamnya. Akibatnya, kewajiban guru diprioritaskan karena dianggap langsung memengaruhi keberlangsungan sistem. Sementara itu, hak guru dianggap sebagai masalah sekunder yang tidak mendesak untuk diselesaikan.
Budaya ini juga diperparah oleh kurangnya keberpihakan kebijakan terhadap guru. Dalam banyak kasus, kebijakan pendidikan lebih berfokus pada output, seperti hasil ujian siswa atau pencapaian target kurikulum, daripada kesejahteraan guru sebagai pelaku utama pendidikan.
Ketimpangan perlakuan ini memiliki dampak jangka panjang yang serius terhadap motivasi dan kinerja guru. Ketika guru merasa kewajibannya selalu diawasi dengan ketat, tetapi haknya diabaikan, mereka akan merasa tidak dihargai. Hal ini dapat menurunkan semangat kerja, bahkan membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadap sistem pendidikan itu sendiri.
Dalam jangka panjang, perlakuan yang tidak adil ini dapat menciptakan siklus negatif. Guru yang kehilangan motivasi cenderung tidak dapat memberikan yang terbaik bagi siswa. Akibatnya, kualitas pendidikan secara keseluruhan akan menurun.
Solusi: Menuju Perlakuan yang Lebih Adil
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan paradigma dalam cara kita memandang peran dan hak guru. Berikut adalah beberapa langkah konkret yang dapat diambil diantaranya Pihak terkait harus lebih transparan dalam menangani masalah kekurangan hak guru. Jika terjadi keterlambatan pembayaran tunjangan atau masalah administrasi lain, informasi yang jelas harus diberikan kepada guru, lengkap dengan jadwal penyelesaian.
Alih-alih langsung melaporkan kekurangan kewajiban guru, pihak sekolah atau dinas pendidikan sebaiknya memberikan pendampingan terlebih dahulu. Pendekatan ini tidak hanya lebih manusiawi, tetapi juga dapat membantu guru memahami dan memperbaiki kekurangan mereka.
Hak guru harus diakui sebagai bagian integral dari kebijakan pendidikan. Ini termasuk memastikan bahwa program-program seperti PPG atau sertifikasi guru dikelola dengan transparan dan adil.
Penting untuk membangun budaya yang menghargai peran guru sebagai individu, bukan sekadar bagian dari sistem. Penghargaan ini dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan guru.
Perlakuan yang adil terhadap guru bukan hanya soal memenuhi hak mereka, tetapi juga soal menjaga martabat profesi guru itu sendiri. Jika kita terus membiarkan ketimpangan ini terjadi, kita tidak hanya merugikan guru, tetapi juga masa depan pendidikan kita. Sudah saatnya semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, bersatu untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar berpihak pada guru. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa guru tetap menjadi ujung tombak pembangunan bangsa yang bermartabat dan profesional.[]