Pendidikan dalam Kepura-puraan
Oleh: Qusthalani
Pendidikan merupakan salah satu elemen penting dalam membangun peradaban suatu bangsa. Di atas kertas, pendidikan selalu diklaim sebagai prioritas, menjadi alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mendorong kemajuan ekonomi, sosial, serta budaya. Namun, dalam praktiknya, seringkali pendidikan terjebak dalam retorika yang penuh kepura-puraan. Mulai dari kebijakan pemerintah yang lebih mengedepankan jargon tanpa implementasi nyata, hingga sikap para pelaku pendidikan seperti guru, siswa, bahkan masyarakat yang cenderung menjadikan pendidikan sebagai formalitas belaka.
Tulisan ini akan membahas bagaimana pendidikan di berbagai tingkatan seringkali tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh, tetapi lebih menyerupai panggung sandiwara.
Setiap pergantian pemerintahan, pendidikan selalu menjadi isu utama dalam kampanye. Banyak janji dilontarkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan, membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan guru, dan memastikan pemerataan pendidikan hingga ke pelosok. Namun, apakah janji-janji tersebut benar-benar diwujudkan?
Kenyataannya, banyak kebijakan pendidikan yang lebih bersifat simbolis daripada substantif. Anggaran pendidikan memang sering disebut telah memenuhi 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai amanat Undang-Undang. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, sebagian besar anggaran tersebut digunakan untuk kebutuhan administratif, seperti gaji pegawai, dibandingkan untuk pengembangan kualitas pendidikan itu sendiri.
Pembangunan infrastruktur sekolah seringkali tidak merata. Sekolah-sekolah di daerah terpencil tetap menghadapi berbagai keterbatasan, mulai dari kekurangan guru hingga minimnya fasilitas belajar. Di sisi lain, di kota-kota besar, pendidikan justru menjadi ladang bisnis dengan menjamurnya sekolah-sekolah swasta berlabel “internasional” yang lebih berorientasi pada keuntungan.
Guru dan Orientasi pada Angka
Guru adalah ujung tombak pendidikan. Mereka seharusnya menjadi pendorong utama dalam membangun karakter dan kecerdasan siswa. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa banyak guru terjebak dalam pola pengajaran yang berorientasi pada angka semata.
Evaluasi kinerja guru seringkali diukur berdasarkan nilai siswa dalam ujian. Hal ini memaksa banyak guru untuk lebih fokus mengejar target nilai daripada memastikan siswa benar-benar memahami materi yang diajarkan. Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada hasil ujian juga membuat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa terabaikan.
Lebih parahnya lagi, beberapa guru menganggap mengajar hanya sebagai rutinitas, bukan panggilan jiwa. Ada guru yang hanya masuk kelas untuk memberikan tugas tanpa memberikan penjelasan yang memadai. Situasi ini menciptakan jurang antara guru dan siswa, di mana siswa merasa tidak terinspirasi dan guru kehilangan semangat untuk mendidik.
Siswa dan Pendidikan yang Formalitas
Di sisi lain, siswa juga kerap memandang pendidikan sebagai formalitas belaka. Banyak siswa yang belajar hanya untuk mendapatkan nilai bagus, tanpa memahami tujuan sebenarnya dari belajar. Mereka menghafal materi demi lulus ujian, tetapi lupa bahwa ilmu adalah bekal untuk kehidupan.
Budaya mencontek, plagiarisme, hingga ketidakjujuran akademik lainnya menjadi masalah serius. Hal ini menunjukkan bahwa siswa lebih peduli pada hasil instan daripada proses pembelajaran itu sendiri. Ditambah lagi, tekanan dari orang tua dan lingkungan yang terlalu fokus pada nilai membuat siswa kehilangan gairah untuk belajar secara mendalam.
Orang Tua dan Harapan yang Berlebihan
Orang tua juga memiliki peran dalam membentuk paradigma pendidikan sebagai kepura-puraan. Banyak orang tua yang mengukur keberhasilan pendidikan anaknya berdasarkan nilai rapor atau ranking di kelas. Mereka sering memaksakan anak untuk masuk ke sekolah favorit atau les tambahan, tanpa memperhatikan minat dan bakat anak.
Di satu sisi, ada pula orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anaknya. Mereka menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan kepada guru dan sekolah. Pola pikir ini menunjukkan bahwa pendidikan dianggap sebagai tugas pihak lain, bukan sebagai tanggung jawab bersama.
Pendidikan juga telah berubah menjadi industri komersial yang menguntungkan bagi sebagian pihak. Sekolah-sekolah swasta dan bimbingan belajar berlomba-lomba menawarkan fasilitas mewah dan program unggulan dengan biaya tinggi. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar justru menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses oleh segelintir kalangan.
Di sisi lain, kurikulum sering kali berubah tanpa arah yang jelas, seolah-olah hanya untuk memenuhi tuntutan pasar. Akibatnya, pendidikan kehilangan esensi sebagai alat pembentukan karakter dan lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi.
Solusi untuk Menghapus Kepura-puraan dalam Pendidikan
Untuk menghapus kepura-puraan dalam pendidikan, semua pihak harus melakukan introspeksi dan perubahan nyata. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Kebijakan Berbasis Realitas
Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Evaluasi terhadap implementasi kebijakan juga perlu dilakukan secara berkala untuk memastikan dampaknya.
2. Peningkatan Kualitas Guru
Guru perlu diberikan pelatihan yang berkelanjutan agar mereka mampu mengajar dengan metode yang kreatif dan relevan. Selain itu, kesejahteraan guru harus ditingkatkan agar mereka bisa fokus mendidik tanpa terganggu masalah finansial.
3. Perubahan Paradigma Siswa
Siswa perlu diajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar nilai, tetapi proses untuk mengembangkan diri. Pendidikan karakter harus menjadi bagian penting dalam kurikulum.
4. Keterlibatan Orang Tua
Orang tua harus lebih aktif terlibat dalam proses pendidikan anak. Mereka harus menjadi pendamping yang mendorong anak untuk belajar dengan semangat, bukan hanya mengejar hasil.
5. Menekan Komersialisasi Pendidikan
Pemerintah perlu mengawasi institusi pendidikan agar tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan. Pendidikan harus tetap menjadi hak dasar yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Namun, jika pendidikan dijalankan dengan kepura-puraan, maka generasi yang dihasilkan tidak akan mampu menghadapi tantangan zaman. Semua pihak, mulai dari pemerintah, guru, siswa, orang tua, hingga masyarakat, harus bersama-sama menghapus kepura-puraan ini dan mengembalikan pendidikan ke jalur yang benar. Hanya dengan pendidikan yang tulus dan sungguh-sungguh, bangsa ini bisa maju dan sejahtera.
*Qusthalani, Guru SMAN 1 Matangkuli, Ketda IGI Aceh Utara