Senin , 10 Februari 2025
Home / Droe ke Droe / Meunang Lam Jabatan, Meulangsa Uroe Nyan: Telaah Post-Power Syndrome dalam Kepemimpinan

Meunang Lam Jabatan, Meulangsa Uroe Nyan: Telaah Post-Power Syndrome dalam Kepemimpinan

Aceh, sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, tidak hanya dikenal dengan kearifan lokalnya, tetapi juga nilai-nilai Islam yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Kepemimpinan di pemerintahan Aceh pun tak lepas dari sorotan, mengingat peran penting pejabat dalam menjalankan amanah rakyat dan menjaga marwah negeri Serambi Mekkah. Namun, tidak sedikit pemimpin yang setelah melepas jabatannya, terjebak dalam fenomena psikologis yang dikenal sebagai Post-Power Syndrome.

Apa itu Post-Power Syndrome?

Post-power syndrome adalah kondisi psikologis yang dialami seseorang setelah kehilangan jabatan atau posisi penting yang pernah ia emban. Bagi seorang pejabat, jabatan bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi juga simbol kekuasaan, kehormatan, dan pengaruh. Ketika jabatan tersebut berakhir, muncul perasaan kehilangan yang mendalam, seperti kehilangan identitas, arah hidup, dan terkadang harga diri.

Gejala post-power syndrome meliputi:

  1. Rasa kehilangan makna hidup karena jabatan dianggap sebagai pusat kehidupannya.
  2. Kecemasan berlebihan tentang bagaimana masyarakat memandang dirinya setelah kehilangan kekuasaan.
  3. Kesepian akibat hilangnya perhatian dan penghormatan yang dulu didapatkan.
  4. Depresi yang muncul dari ketidakmampuan menerima kenyataan.

Di Aceh, fenomena ini kerap terlihat pada pejabat yang baru saja melepas masa jabatannya, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa bahkan berusaha mempertahankan pengaruh dengan berbagai cara, seperti terus mencampuri urusan pemerintahan atau mencoba membangun citra baru yang sering kali justru tidak relevan.

Post-Power Syndrome dalam Konteks Kepemimpinan di Aceh

Aceh memiliki tradisi kepemimpinan yang berakar pada nilai-nilai agama dan budaya. Seorang pemimpin, baik dalam konteks pemerintahan, adat, maupun agama, dianggap sebagai figur sentral yang dihormati dan diikuti. Dalam masyarakat yang kolektivis seperti Aceh, status sosial seorang pemimpin sering kali menjadi bagian penting dari identitas individu. Ketika seorang pemimpin kehilangan posisinya, perubahan ini tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri tetapi juga pada lingkungannya.

Lebih dari itu, kepemimpinan di Aceh sering diwarnai oleh nilai-nilai keislaman yang mendalam. Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab dalam hal administratif tetapi juga dipandang sebagai penjaga moral dan etika masyarakat. Posisi ini memberikan tekanan besar untuk menjalankan kepemimpinan secara adil, berintegritas, dan sejalan dengan syariat Islam. Ketika masa jabatan berakhir, mantan pemimpin sering kali merasa kehilangan ruang untuk menjalankan tanggung jawab moral tersebut, yang memperparah dampak psikologis dari post-power syndrome.

Selain itu, masyarakat Aceh memiliki tradisi adat seperti “peusijuek” dan musyawarah yang menempatkan pemimpin dalam peran sentral. Ketika seorang pemimpin tidak lagi aktif, mereka mungkin merasa terisolasi dari proses-proses adat yang sebelumnya menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Ini menunjukkan betapa eratnya kaitan antara posisi kepemimpinan dan struktur sosial budaya Aceh.

Dalam kepemimpinan Aceh, jabatan sering dianggap sebagai simbol keberhasilan, kehormatan keluarga, dan kebanggaan sosial. Pejabat yang pernah menduduki posisi tinggi kerap dihormati dan mendapatkan fasilitas istimewa. Hal ini membuat transisi dari “berkuasa” menjadi “rakyat biasa” terasa sangat berat.

Namun, dalam banyak kasus, fenomena ini juga dipicu oleh budaya kepemimpinan yang belum sepenuhnya matang. Ada kecenderungan sebagian pejabat untuk terlalu terikat pada jabatan sebagai sumber identitas diri. Mereka lupa bahwa jabatan adalah amanah sementara yang sewaktu-waktu bisa berakhir.

Bagi pejabat di Aceh, budaya lokal yang menjunjung tinggi prinsip meurah siblah (kemurahan hati dan berbagi) seharusnya menjadi landasan untuk terus berkontribusi meski tidak lagi menjabat. Jabatan adalah wadah untuk mengabdi, bukan sekadar simbol kekuasaan yang harus dipertahankan.

Dampak dari post-power syndrome tidak hanya dirasakan oleh individu tetapi juga oleh masyarakat. Mantan pemimpin yang mengalami sindrom ini sering kali sulit memberikan kontribusi produktif kepada komunitasnya. Di sisi lain, ketidakmampuan untuk melepaskan kekuasaan dapat menghambat regenerasi kepemimpinan yang sehat, yang sangat penting dalam masyarakat yang terus berkembang.

Telaah dari Perspektif Hukum Islam

Islam memberikan pandangan yang jelas tentang kekuasaan dan kepemimpinan. Jabatan adalah amanah (QS An-Nisa: 58), dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (HR Bukhari dan Muslim). Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah hak atau privilese, melainkan tanggung jawab besar yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

Ketika seorang pemimpin kehilangan jabatannya, ia harus tetap menyadari bahwa kehidupannya tidak berakhir di situ. Kehilangan jabatan seharusnya tidak menjadi alasan untuk merasa tidak berguna. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan bahwa kemuliaan seseorang bukanlah karena jabatan atau kedudukan, tetapi karena ketakwaannya (QS Al-Hujurat: 13).

Rasulullah SAW juga mencontohkan bagaimana seorang pemimpin yang selesai menjalankan amanahnya tetap bersikap rendah hati dan kembali menjalani kehidupan seperti rakyat biasa. Tidak ada istilah “berhenti berkontribusi” dalam Islam, karena setiap individu selalu memiliki peran untuk masyarakat, baik dalam jabatan formal maupun tidak.

Mengatasi Post-Power Syndrome dengan Nilai-Nilai Lokal dan Islam

Untuk pejabat di Aceh, memahami bahwa kekuasaan adalah titipan Allah merupakan langkah awal yang penting. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:

1. Menerima Qadha dan Qadar
Dalam Islam, segala sesuatu terjadi atas izin Allah. Jabatan yang hilang adalah bagian dari takdir-Nya. Dengan memahami ini, seseorang akan lebih mudah menerima perubahan dalam hidup.

2. Tetap Aktif dalam Masyarakat
Budaya gotong royong dan nilai meuseuraya di Aceh dapat menjadi jalan bagi mantan pejabat untuk tetap berkontribusi. Menjadi pembina organisasi masyarakat, membantu program pendidikan, atau terlibat dalam kegiatan keagamaan adalah bentuk pengabdian yang bermakna.

3. Meningkatkan Ketakwaan
Pasca kehilangan jabatan, ini adalah momen untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pejabat dapat memperbanyak ibadah, seperti berzikir, membaca Al-Qur’an, dan mendalami ilmu agama. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, hati akan menjadi lebih tenang dan lapang.

4. Membangun Kehidupan Baru
Jabatan hanyalah bagian kecil dari kehidupan. Mantan pejabat dapat mengeksplorasi potensi baru, seperti membuka usaha, menjadi penulis, atau bahkan menjadi mentor bagi generasi muda.

5. Menghindari Sifat Ghurur
Sifat ghurur (merasa hebat dan sulit menerima kenyataan) adalah salah satu penyebab utama post-power syndrome. Dalam Islam, sifat ini adalah penyakit hati yang harus dihindari. Mantan pejabat harus bersikap tawadhu (rendah hati) dan fokus pada kebermanfaatan, bukan popularitas.

Di Aceh, nilai budaya dan agama menjadi fondasi yang kuat dalam menjalankan kehidupan, termasuk ketika menghadapi transisi setelah kehilangan jabatan. Post-power syndrome seharusnya tidak menjadi alasan bagi pejabat untuk kehilangan arah hidup, melainkan menjadi momentum untuk introspeksi dan memperkuat peran dalam masyarakat.

Sebagaimana pepatah Aceh berkata, “Bek kiban han meugampong, bek kayee han meugo.” (Jangan sampai tidak berguna di kampung, seperti kayu yang tak berbuah). Jabatan hanyalah bagian kecil dari perjalanan hidup, tetapi kontribusi dan kebaikan yang dilakukan akan menjadi warisan yang abadi. Allah SWT tidak melihat jabatan seseorang, tetapi sejauh mana ia menjalankan amanahnya dengan penuh tanggung jawab.[]

About Redaksi

Check Also

Memaknai Manajemen Talenta Secara Kaffah

Manajemen talenta sering kali menjadi istilah yang dipahami secara sempit di banyak organisasi. Banyak yang …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *