Senin , 10 Februari 2025
Home / Droe ke Droe / Mimpi Besar Tanpa Fondasi, Paradok Kebijakan Pendidikan di Aceh

Mimpi Besar Tanpa Fondasi, Paradok Kebijakan Pendidikan di Aceh

Mimpi Besar Tanpa Fondasi, Paradok Kebijakan Pendidikan di Aceh

Dinas Pendidikan Aceh patut diapresiasi atas tekadnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di provinsi ini. Target ambisius untuk masuk dalam 10 besar nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) secara nasional pada tahun 2027 menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, menegaskan pentingnya persiapan matang dan kolaborasi antara sekolah, guru, dan dinas pendidikan untuk mencapai tujuan tersebut (infopublik.id, 2025).

Namun, dalam upaya mencapai target tersebut, perlu diingat bahwa pendidikan bukan hanya soal hasil akhir atau output semata. seperti yang diungkapkan oleh Albert Einstein, “Visi tanpa eksekusi hanyalah ilusi.”Mengejar peringkat tanpa memperkuat fondasi pendidikan ibarat membangun istana di atas pasir—terlihat megah dari kejauhan, tetapi rapuh dan mudah runtuh karena tidak memiliki dasar yang kuat. Fondasi pendidikan terdiri dari kualitas guru, ketersediaan sarana dan prasarana, kesejahteraan tenaga pendidik, serta sistem pembelajaran yang efektif. Jika aspek-aspek ini diabaikan, maka sebaik apa pun target yang dicanangkan, hasilnya hanya akan menjadi pencapaian semu yang tidak berkelanjutan.

Tanpa guru yang kompeten dan sejahtera, bagaimana mungkin siswa bisa mendapatkan pendidikan berkualitas? Tanpa fasilitas yang memadai, bagaimana mungkin proses belajar-mengajar bisa berjalan optimal? Dan tanpa kebijakan yang memperhatikan proses, bagaimana mungkin output yang diharapkan dapat tercapai? Oleh karena itu, sebelum berbicara tentang prestasi dan peringkat, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun fondasi pendidikan yang kokoh agar setiap capaian benar-benar memiliki dampak yang nyata dan berjangka panjang.

Input dalam pendidikan mencakup berbagai aspek, seperti sumber daya manusia (SDM) guru, sarana dan prasarana, serta dukungan anggaran. Kualitas SDM guru sangat menentukan proses belajar-mengajar. Sayangnya, masih terdapat masalah dalam distribusi guru di Aceh. Beberapa guru yang telah memiliki sertifikat pendidik tidak dapat menikmati tunjangan profesi guru. Selain itu, ratusan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Aceh tidak dapat melaksanakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) karena kurangnya dukungan anggaran dari pemerintah daerah. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, Azhari, menyatakan bahwa pada tahun 2023, Kemenag Aceh membayar lebih dari Rp185 miliar tunjangan profesi untuk guru PAI di seluruh Aceh. Namun, masih banyak guru yang belum tersertifikasi dan memerlukan dukungan untuk mengikuti PPG.

Proses pendidikan mencakup metode pengajaran, kurikulum, dan interaksi antara guru dan siswa. Metode pengajaran yang efektif dan relevan dengan perkembangan zaman sangat penting untuk meningkatkan kualitas belajar siswa.amun, tanpa dukungan input yang memadai, proses ini tidak akan berjalan optimal.

Kesejahteraan guru memiliki hubungan erat dengan kualitas pendidikan. Guru yang sejahtera cenderung lebih termotivasi dan dapat mengajar dengan lebih baik. Namun, jika hak-hak mereka diabaikan, seperti tunjangan profesi yang tidak dibayarkan atau kurangnya dukungan untuk pengembangan profesional, semangat mengajar dapat menurun. Hal ini tentu berdampak pada semangat belajar siswa.

Seperti yang diungkapkan oleh Linda Darling-Hammond, seorang pakar pendidikan dari Stanford University, “Teacher quality is the single most important school-related factor in student achievement.” (Kualitas guru adalah faktor sekolah yang paling penting dalam pencapaian siswa). Artinya, tanpa guru yang berkualitas dan sejahtera, sulit untuk meningkatkan prestasi siswa secara signifikan.

Penelitian dari UNESCO juga menegaskan bahwa kesejahteraan guru, termasuk gaji yang layak, tunjangan profesi, serta kesempatan pengembangan profesional, sangat berkorelasi dengan efektivitas pengajaran dan motivasi kerja mereka. Dalam laporannya, UNESCO menyatakan, “Investing in teachers’ well-being improves their performance and, ultimately, student learning outcomes.” (Investasi pada kesejahteraan guru meningkatkan kinerja mereka dan pada akhirnya berdampak positif pada hasil belajar siswa).

Namun, jika hak-hak guru diabaikan, seperti tunjangan profesi yang tidak dibayarkan atau kurangnya dukungan untuk pengembangan profesional, semangat mengajar dapat menurun. Profesor Richard Ingersoll dari University of Pennsylvania menjelaskan bahwa “Teachers who feel unsupported or undercompensated are more likely to experience burnout, leading to disengagement in the classroom.” (Guru yang merasa tidak didukung atau kurang dihargai cenderung mengalami kelelahan kerja, yang mengarah pada kurangnya keterlibatan dalam pengajaran di kelas).

Hal ini tentu berdampak pada semangat belajar siswa. Ketika guru kehilangan motivasi akibat tekanan ekonomi dan minimnya perhatian dari pemerintah, interaksi mereka dengan siswa pun menjadi kurang optimal. Akibatnya, suasana belajar menjadi kurang inspiratif, yang akhirnya menghambat perkembangan akademik dan karakter peserta didik.

Sinkronisasi Program untuk Output yang Optimal

Mengejar peringkat tinggi dalam UTBK atau prestasi akademik lainnya bukanlah hal yang mustahil, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada sinkronisasi antara kebijakan, kualitas input, serta proses pendidikan yang berlangsung di dalam kelas. Pendidikan bukan hanya tentang angka-angka di atas kertas, melainkan tentang bagaimana sistem itu berjalan dengan selaras dan mendukung semua elemen yang terlibat, terutama guru sebagai ujung tombak pembelajaran.

Sinkronisasi program harus mencakup peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan yang berkelanjutan. Guru yang terlatih dengan baik akan memiliki keterampilan pedagogis yang lebih baik, mampu menerapkan metode pembelajaran yang lebih efektif, dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, termasuk pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Namun, kenyataannya, pelatihan guru di Aceh masih sangat terbatas dalam beberapa tahun terakhir. Minimnya pelatihan ini menyebabkan banyak guru kesulitan dalam menerapkan strategi pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan siswa saat ini.

Selain pelatihan, kenyamanan guru dalam menjalankan tugasnya juga menjadi faktor kunci dalam menciptakan proses pembelajaran yang optimal. Kenyamanan ini tidak hanya dalam bentuk lingkungan fisik sekolah yang mendukung, tetapi juga dalam aspek psikologis dan kesejahteraan ekonomi. Guru yang merasa aman dan nyaman dalam pekerjaannya akan lebih fokus dalam mengajar dan membimbing siswa. Sebaliknya, jika mereka harus menghadapi berbagai tekanan akibat keterlambatan tunjangan, minimnya fasilitas pendukung, dan beban administrasi yang berlebihan, belum lagi yang dianggap melawan saban tahun akan dimutasi, maka energi mereka akan terkuras untuk hal-hal di luar tugas utama sebagai pendidik.

Apresiasi terhadap guru juga menjadi bagian penting dalam menyelaraskan program pendidikan dengan hasil yang diharapkan. Sayangnya, di banyak daerah, termasuk Aceh, apresiasi terhadap guru masih sering diabaikan. Padahal, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Robert Marzano, seorang pakar pendidikan dari AS, “Teachers who feel valued and recognized tend to invest more in their students’ success.” (Guru yang merasa dihargai dan diakui cenderung lebih berkomitmen terhadap kesuksesan siswa mereka). Apresiasi ini tidak selalu harus dalam bentuk materi, tetapi bisa berupa kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan guru, pengurangan beban kerja administratif yang tidak relevan, hingga pemberian penghargaan kepada guru yang berprestasi.

Jika pemerintah hanya fokus pada target output tanpa memperbaiki input dan proses, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan dalam sistem pendidikan. Namun, tanpa memperhatikan dan memperkuat aspek input dan proses, target tersebut menjadi paradoks. Kita tidak bisa memaksa guru untuk menghasilkan siswa yang unggul jika mereka sendiri tidak diberikan dukungan yang cukup.  Dalam filosofi Aceh, ada pepatah “Kiban taperle timphan beumangat, tupong yang na ka basi dan cara olah pake cara olah dugok.” Ini menggambarkan bahwa kita menginginkan sesuatu yang berkualitas (dalam hal ini siswa yang berprestasi), tetapi bahan bakunya sudah rusak (guru yang kurang sejahtera, minim pelatihan, dan kurang diapresiasi), serta prosesnya pun tidak dilakukan dengan benar.

Oleh karena itu, jika Aceh benar-benar ingin menembus peringkat 10 besar UTBK nasional pada 2027, maka pemerintah harus terlebih dahulu memastikan bahwa guru mendapatkan pelatihan yang layak, lingkungan kerja yang nyaman, serta apresiasi yang cukup. Hanya dengan sinkronisasi antara kebijakan, peningkatan kualitas guru, dan dukungan penuh terhadap proses pembelajaran, barulah target tersebut dapat diwujudkan dengan hasil yang nyata dan berkelanjutan.

Berbicara tentang integritas, mengabaikan hak-hak guru adalah bentuk kezaliman. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)

Kita diberi amanah untuk menjadi pemimpin yang membantu orang lain, dan berada pada titik aman bukanlah solusi. Oleh karena itu, Dinas Pendidikan Aceh harus mengambil langkah konkret untuk memperbaiki input dan proses pendidikan. Hanya dengan demikian, mimpi besar untuk masuk dalam 10 besar UTBK nasional pada tahun 2027 dapat terwujud dengan fondasi yang kokoh dan berkelanjutan.

Wallahualam Bissawab

About Redaksi

Check Also

Kursi Panas: Simbol Kekuasaan yang Diperebutkan

Kursi Panas: Simbol Kekuasaan yang Diperebutkan Dalam setiap struktur sosial, baik itu pemerintahan, perusahaan, atau …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *