EROPA ADA SUMMER CAMP ACEH ADA RAMADHAN CAMP: POLA PENDIDIKAN RAMADHAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL, MUNGKINKAH
Oleh: Qusthalani*
Di berbagai negara Eropa, summer camp telah menjadi bagian dari tradisi liburan musim panas bagi anak-anak dan remaja. Program ini dirancang sebagai kegiatan edukatif dan rekreasional yang berlangsung di luar lingkungan sekolah. Tujuannya tidak hanya untuk mengisi waktu luang dengan aktivitas yang menyenangkan, tetapi juga untuk memperkaya keterampilan, membangun kemandirian, dan memperkuat karakter anak-anak melalui berbagai kegiatan, seperti petualangan alam, seni, olahraga, serta pengembangan keterampilan sosial. Fleksibilitas dalam durasi dan jenis kegiatan menjadikan summer camp sebagai alternatif pendidikan yang efektif dan menarik, di mana anak-anak bisa belajar dalam suasana yang lebih santai dan eksploratif.
Konsep summer camp ini sebenarnya dapat diadaptasi dalam konteks pendidikan di Aceh, terutama saat bulan Ramadhan, dengan menghadirkan Al-Qur’an Camp. Program ini dapat dirancang sebagai wadah bagi siswa untuk lebih mendalami nilai-nilai Islam, meningkatkan kedekatan mereka dengan Al-Qur’an, serta membentuk karakter melalui pembiasaan ibadah dan berbagai kegiatan positif lainnya. Al-Qur’an Camp dapat menjadi solusi untuk mengisi waktu pendidikan di bulaan Ramadhan dengan kegiatan yang bermakna, yang tidak hanya memberikan pengalaman spiritual, tetapi juga menanamkan keterampilan sosial dan moral yang kuat.
Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak
Pendidikan karakter merupakan fondasi utama dalam membentuk kepribadian dan moral anak sejak usia dini. Dalam proses tumbuh kembangnya, anak tidak hanya memerlukan kecerdasan intelektual, tetapi juga nilai-nilai karakter yang kuat agar mampu menjadi individu yang berintegritas, berempati, serta memiliki tanggung jawab sosial. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan karakter yang dikemukakan oleh Thomas Lickona (1991), yang menyatakan bahwa “pendidikan karakter bukan hanya untuk membuat seseorang menjadi cerdas, tetapi juga menjadi pribadi yang baik.”
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, konsep pendidikan karakter telah menjadi bagian integral dari Kurikulum nasional yang telah disempurnakan dari kurikulum merdeka sebelumnya. Pendidikan dalam kurikulum ini menekankan pembentukan kepribadian diri dalam profil lulusan. Profil ini mengedepankan delapan dimensi utama yang mencerminkan karakter ideal peserta didik, diantaranya 1) Keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME, 2) Kewargaan, 3) Penalaran Kritis, 4) Kreativitas, 5) Kolaborasi, 6) Mandiri, 7) Kesehatan, dan 8) Komunikasi.
Sejak usia dini, anak berada dalam tahap perkembangan yang sangat pesat, baik dalam aspek kognitif, emosional, maupun sosial. Pada fase ini, mereka cenderung menyerap berbagai nilai dan kebiasaan dari lingkungan sekitar, termasuk dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dimulai sedini mungkin agar menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan mereka.
Menurut Jean Piaget (1952) dalam teorinya tentang perkembangan kognitif, anak-anak usia dini berada dalam tahap praoperasional (2-7 tahun), di mana mereka mulai membangun pemahaman tentang dunia melalui pengalaman langsung dan interaksi sosial. Oleh karena itu, menanamkan nilai-nilai karakter seperti kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab sejak dini sangat penting agar dapat menjadi kebiasaan dalam kehidupan mereka.
Pendidikan karakter tidak hanya terjadi di dalam lingkungan sekolah, tetapi juga da[at di luar jam sekolah melalui berbagai aktivitas yang melibatkan anak dalam interaksi sosial, pembiasaan nilai-nilai positif, serta pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini sangat penting karena anak lebih banyak menghabiskan waktu di luar kelas, baik bersama keluarga, teman sebaya, maupun lingkungan masyarakat.
Kegiatan keagamaan juga menjadi salah satu sarana efektif untuk menanamkan nilai-nilai karakter dalam bulan ramadhan seperti kejujuran, disiplin, kerja sama, dan kepedulian.
Aceh yang memiliki kekhususan dalam bidang pendidikan dapat dimungkinkan untuk melaksanakan pendidikan karakter dalam kegiatan sekolah pada bulan ramadhan. Walaupun secara nasional siswa mulai sekolah seperti biasa mulai tanggal 06 sampai dengan 26 maret.
Kekhususan Aceh di Bidang Pendidikan
Aceh memiliki kekhususan dalam bidang pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 dan diperjelas dalam Qanun Aceh tentang Pendidikan. Kekhususan ini merupakan bagian dari otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh dalam mengelola berbagai sektor, termasuk pendidikan, dengan mempertimbangkan nilai-nilai keislaman, adat istiadat, serta kebutuhan lokal.
Pendidikan di Aceh memiliki landasan hukum yang kuat dalam UUPA dan qanun. Pasal 218 UUPA menegaskan bahwa Pemerintah Aceh berwenang mengelola sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerahnya, termasuk penerapan nilai-nilai keislaman dalam kurikulum pendidikan.
Pasal 222 UUPA mengatur bahwa Aceh berhak menyelenggarakan pendidikan dengan kekhususan berbasis syariat Islam, yang tetap mengikuti standar nasional pendidikan. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan menjadi regulasi khusus yang mengatur sistem pendidikan Aceh dengan memperkuat aspek keislaman dan kearifan lokal dalam kurikulum serta tata kelola pendidikan.
Kekhususan ini telah memberikan dampak positif bagi dunia pendidikan di Aceh, seperti meningkatnya akses pendidikan berbasis Islam, berkembangnya kurikulum muatan lokal, serta pengakuan formal terhadap pendidikan dayah. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menyelaraskan pendidikan berbasis syariat Islam dengan standar nasional pendidikan serta meningkatkan kualitas pendidikan di seluruh Aceh.
Namun, sayangnya kebijakan Dinas Pendidikan Aceh pada tahun 2025 terkait pendidikan di bulan ramadhan justru mengikuti aturan nasional dari Kemendikdasmen, yang mengharuskan siswa tetap belajar seperti hari biasa selama tiga minggu di bulan Ramadhan.
Kebijakan ini sangat bertentangan dengan kekhususan Aceh dalam bidang pendidikan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dalam Pasal 215 ayat (1) UUPA, disebutkan bahwa:
“Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengelola pendidikan sesuai dengan kekhususan Aceh.”
Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015, yang merupakan revisi dari Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dijelaskan bahwa pendidikan di Aceh harus berlandaskan pada nilai-nilai Islam dan kebutuhan daerah.
Jika Aceh memiliki kewenangan khusus dalam mengelola pendidikan, mengapa kebijakan pendidikan Ramadhan harus mengikuti pola nasional tanpa mempertimbangkan karakteristik lokal?
Alih-alih mempertahankan pola pembelajaran konvensional selama Ramadhan, Aceh seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk membangun ekosistem pendidikan berbasis spiritualitas yang lebih inovatif. Konsep Al-Qur’an Camp dapat menjadi solusi yang lebih relevan bagi pendidikan di Aceh, terutama dalam membangun karakter Islami generasi muda.
Pola Pendidikan Ramadhan yang Berbasis Kearifan Lokal
Setiap daerah memiliki pendekatan tersendiri dalam menyikapi pendidikan selama bulan Ramadhan. Di berbagai wilayah Indonesia, wacana sekolah di bulan Ramadhan terus menjadi perdebatan. Ada yang mengusulkan pengurangan jam belajar, ada pula yang ingin tetap menjalankan kegiatan akademik dengan penyesuaian tertentu.
Namun, di Aceh, sebagai satu-satunya provinsi yang menerapkan syariat Islam secara formal, pendidikan Ramadhan telah menjadi bagian dari budaya yang khas dan mengakar dalam masyarakat.
Pendidikan di bulan Ramadhan di Aceh tidak hanya berorientasi pada akademik, tetapi juga memperkuat aspek spiritual, moral, dan sosial siswa. Sekolah-sekolah umumnya menyesuaikan jadwal pembelajaran dengan memasukkan kegiatan keagamaan secara lebih intensif. Bahkan, beberapa sekolah di Aceh telah mengadopsi konsep Al-Qur’an Camp, yaitu program pembelajaran berbasis pondok Ramadhan yang berlangsung selama bulan puasa.
Mengapa Al-Qur’an Camp Lebih Relevan di Aceh?
Sebagaimana summer camp yang memiliki beragam jenis program dan durasi yang fleksibel, Al-Qur’an Camp juga dapat dirancang dengan berbagai pilihan konsep, tergantung pada kebutuhan dan kapasitas sekolah atau lembaga pendidikan yang menyelenggarakannya.
Ketika membandingkan konsep Summer Camp yang berbasis pengembangan keterampilan umum dengan Al-Qur’an Camp yang berlandaskan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal, muncul pertanyaan: apakah mungkin pola pendidikan Ramadhan berbasis nilai-nilai tradisi ini dapat menjadi pilihan utama bagi generasi muda?
Al-Qur’an Camp dapat dirancang dengan durasi yang fleksibel, sehingga tidak harus berlangsung selama sebulan penuh. Program ini dapat diselenggarakan dalam berbagai format, baik secara harian, pekanan, maupun hanya pada akhir pekan selama bulan Ramadhan. Selain itu, kegiatan dapat dikemas dalam bentuk camp full-day yang berlangsung dari pagi hingga sore, atau camp harian dengan sesi-sesi tertentu, misalnya setelah shalat Subuh atau menjelang berbuka puasa.
Agar lebih menarik, Al-Qur’an Camp menghadirkan ragam kegiatan interaktif yang dikemas dengan metode yang menyenangkan. Salah satunya adalah sesi tadabbur Al-Qur’an dan tahsin, yang tidak hanya berfokus pada membaca, tetapi juga memahami serta memperbaiki bacaan dengan cara yang menarik. Selain itu, peserta juga dapat mengikuti program hafalan Juz Amma atau surah pilihan dengan pendekatan berbasis reward untuk meningkatkan motivasi.
Selain itu, kegiatan outdoor learning atau tafakur alam menjadi bagian dari program ini, memungkinkan peserta mengeksplorasi alam sembari merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Untuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, peserta juga diajak dalam simulasi kehidupan Islami, seperti praktik salat berjamaah, menjalankan puasa, serta berbagi kepada sesama. Berbagai lomba Islami, seperti cerdas cermat Islami, lomba adzan, lomba da’i cilik, hingga kompetisi hafalan, turut diadakan guna meningkatkan semangat belajar peserta.
Lebih dari sekadar program pembelajaran agama, Al-Qur’an Camp juga menjadi ajang pembentukan karakter dan pengembangan soft skills. Melalui berbagai kegiatan yang diselenggarakan, peserta didorong untuk menjadi lebih mandiri dalam mengatur waktu belajar dan ibadah mereka. Kebiasaan menjalankan ibadah tepat waktu juga membentuk kedisiplinan yang kuat dalam diri mereka.
Dengan pendekatan yang menyeluruh, Al-Qur’an Camp tidak hanya memperkuat pemahaman agama dan kecintaan terhadap al qur’an, tetapi juga membentuk karakter yang tangguh serta keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupan peserta di masa depan.
Dengan pendekatan yang relevan dan inovatif, Al-Qur’an Camp berpotensi menjadi solusi pendidikan Ramadhan yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga bermakna bagi pembentukan karakter Islami terutama di Aceh yang memiliki kekhususan dalam bidang pendidikan.
Al Quran camp di Aceh dan summer camp di Eropa, akan sama-sama menjadi ciri khas untuk pendidikan karakter bagi siswa.
Mudah-mudahan Aceh bisa menjadi pelopor pendidikan religius di Indonesia, bukan malah sebaliknya. Wallahu A’lam Bishawab!
*Qusthalani, S.Pd,.M.Pd., Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Aceh Utara dan Guru SMA Negeri 1 Matangkuli Aceh Utara