Merancang Masa Depan: Urgensi Blue Print Pendidikan untuk Generasi Emas Aceh
Oleh : Qusthalani*
Pendidikan di Aceh selama ini menjadi sorotan karena berbagai persoalan yang tak kunjung tuntas. Sebagai provinsi dengan kekayaan budaya dan sejarah yang mendalam, Aceh memiliki potensi besar untuk melahirkan generasi emas yang berkontribusi di tingkat nasional maupun global. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih adanya kesenjangan besar antara harapan terhadap pendidikan dan realitas yang terjadi. Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, diperlukan sebuah blue print pendidikan yang terarah, berkelanjutan, dan berbasis kearifan lokal.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan menengah atas di Aceh pada tahun 2023 mencapai 81,23%. Angka ini memang mengalami peningkatan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, tetapi masih lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional yang mencapai 87,92%. Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh pada tahun yang sama berada di angka 72,91, menempatkan Aceh di posisi menengah dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
Lebih dalam lagi, kesenjangan pendidikan di Aceh terlihat jelas ketika kita membandingkan kondisi pendidikan di kota besar seperti Banda Aceh dengan daerah pedalaman seperti Simeulue atau wilayah pegunungan tengah. Fasilitas pendidikan yang tidak merata, minimnya tenaga pengajar berkualitas, dan aksesibilitas sekolah menjadi tantangan yang masih dihadapi oleh masyarakat di daerah terpencil.
Selain itu, hasil survei literasi dan numerasi menunjukkan bahwa kemampuan siswa Aceh masih berada di bawah standar nasional. Program Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang digelar beberapa tahun terakhir memperlihatkan rendahnya tingkat literasi sains dan matematika siswa di Aceh. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara kurikulum yang dirancang secara nasional dengan implementasinya di tingkat lokal.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan kesenjangan pendidikan di Aceh diantaranya, Infrastruktur yang tidak merata. Banyak sekolah di Aceh, khususnya di daerah terpencil, belum memiliki fasilitas dasar yang memadai. Ruang kelas yang rusak, kekurangan laboratorium, hingga minimnya akses internet menjadi kendala utama dalam penyelenggaraan pendidikan berkualitas.
Aceh masih menghadapi tantangan dalam mendistribusikan guru berkualitas ke seluruh pelosok daerah. Banyak sekolah di wilayah pedalaman yang kekurangan tenaga pendidik kompeten, sementara di kota-kota besar terdapat kelebihan guru.
Meskipun Aceh memiliki Dana Otonomi Khusus (Otsus), alokasi anggaran untuk pendidikan sering kali kurang efektif. Banyak dana yang digunakan untuk program jangka pendek tanpa perencanaan strategis yang jelas.
Pendidikan di Aceh sering kali terkesan memaksakan standar nasional tanpa mempertimbangkan kearifan lokal. Padahal, Aceh memiliki nilai-nilai budaya seperti peusijuek, gotong royong, dan etos kerja yang dapat menjadi dasar pengembangan pendidikan karakter.
Urgensi Blue Print Pendidikan untuk Aceh
Aceh membutuhkan blue print pendidikan sebagai panduan strategis untuk mencapai tujuan jangka panjang. Blue print ini harus dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan lokal, tantangan global, dan potensi daerah.
Blue print akan menjadi kompas untuk menentukan prioritas pembangunan pendidikan, mulai dari infrastruktur, kurikulum, hingga pelatihan guru.
Dengan perencanaan yang matang, alokasi dana pendidikan, termasuk Dana Otsus, dapat digunakan lebih efektif untuk program-program yang berdampak langsung.
Blue print pendidikan harus melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk bersama-sama membangun ekosistem pendidikan yang lebih baik.
Beberapa solusi yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan dalam pendidikan di Aceh yaitu : 1) Membangun Infrastruktur yang Merata. Pemerintah Aceh harus menjadikan pembangunan infrastruktur pendidikan sebagai prioritas utama, khususnya di daerah terpencil. Penyediaan fasilitas seperti laboratorium, perpustakaan, dan akses internet dapat mendukung pembelajaran yang lebih efektif. 2)Meningkatkan Kompetensi Guru. Pelatihan berkelanjutan bagi guru harus diperbanyak, termasuk pelatihan berbasis teknologi dan pendekatan pembelajaran kontekstual. Selain itu, insentif khusus harus diberikan kepada guru yang bersedia mengajar di daerah terpencil.
3) Pendidikan di Aceh harus mencerminkan nilai-nilai lokal yang relevan, seperti gotong royong, toleransi, dan kerja keras. Hal ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan kurikulum nasional dengan budaya lokal. 4) Teknologi dapat menjadi jembatan untuk mengatasi keterbatasan akses pendidikan di daerah terpencil. Program pembelajaran jarak jauh, perpustakaan digital, dan platform pendidikan daring harus dikembangkan secara masif. 5)Monitoring dan Evaluasi Berkala. Pemerintah dan masyarakat harus memastikan bahwa setiap program pendidikan dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitasnya.
Aceh memiliki potensi besar untuk melahirkan generasi emas yang mampu bersaing di tingkat global. Namun, tanpa perencanaan strategis yang matang, harapan tersebut hanya akan menjadi mimpi. Blue print pendidikan yang dirancang dengan baik dan berorientasi pada kebutuhan lokal adalah kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Dengan komitmen semua pihak, Aceh dapat membangun sistem pendidikan yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga inklusif dan berkeadilan.
Sudah saatnya kita berinvestasi pada pendidikan sebagai warisan terbaik untuk generasi masa depan. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita siapa lagi?
*Qusthalani, S.Pd.,M.Pd, Ketua IGI Aceh Utara, Guru SMA Negeri 1 Matangkuli