
Lhoksukon | Jurnalpase.com, 23 Oktober 2025 –Isu rendahnya kompetensi guru dan kian rentannya posisi pendidik di mata hukum adalah dua tantangan krusial yang mengganjal laju sistem pendidikan nasional. Di tengah tuntutan masif akan perubahan kurikulum, integrasi teknologi (AI) di kelas, dan digitalisasi sekolah, organisasi profesi guru seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI) hadir dengan penekanan ganda: pengembangan kapasitas mandiri dan advokasi yang sistematis.
IGI didirikan atas kesadaran bahwa kunci perbaikan mutu pendidikan terletak pada inisiatif guru itu sendiri. Filosofi utama IGI adalah “Sharing and Growing Together” (Saling Berbagi dan Tumbuh Bersama). Ruh ini membedakan IGI dari wadah profesi yang sekadar menampung aspirasi atau menunggu kebijakan struktural dari atas.
Fokus IGI adalah memberikan “tools” (alat) dan “skill” (keterampilan) yang “aplikatif” dan “murah” kepada guru di seluruh pelosok negeri. Program-program unggulannya, seperti “Sagusaku (Satu Guru Satu Buku)” dan “Sagusanov (Satu Guru Satu Inovasi), dan banyak kanal lainnya merupakan manifestasi nyata dari ruh ini.
IGI telah bertransformasi menjadi motor penggerak keahlian guru yang bersifat akar rumput (grassroots). Fokus utama telah bergeser secara fundamental, dari sekadar wadah penyalur aspirasi kelembagaan menjadi pusat pelatihan dan inkubator inovasi yang aplikatif dan berbasis kebutuhan lapangan. Transformasi ini menegaskan bahwa masa depan pendidikan Indonesia terletak pada kemauan guru untuk memberdayakan dirinya sendiri.
Berbeda dengan pendekatan organisasi yang sering kali project-oriented dan bergantung pada dana pusat, IGI banyak menjalankan program yang mendorong guru untuk menghasilkan karya nyata dan profesional.
Ketua Umum IGI, Danang Hidayatullah, menegaskan bahwa semangat kemandirian inilah yang menjadi ruh pergerakan organisasi.
“Kompetensi guru adalah akar masalah dan sekaligus solusi utamanya. Kami mendorong guru agar adaptif, inovatif, dan yang terpenting, berani melakukan transformasi diri sendiri. Saat guru berdaya secara profesional, kualitas pendidikan akan terangkat secara holistik,” ujarnya.
Dengan demikian, IGI didirikan untuk “mengubah pola pikir (mindset) guru dari objek kebijakan menjadi subjek dan lokomotif perubahan pendidikan di kelasnya masing-masing.
Melalui kanal-kanal pelatihan daring (webinar, e-course, dan komunitas virtual) dan luring (kegiatan Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran), IGI menjangkau guru-guru bahkan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Materi pelatihan berfokus pada penguasaan teknologi, literasi digital kritis, hingga kemampuan berpikir komputasional. Upaya ini merupakan respons proaktif IGI dalam memastikan guru siap menghadapi gelombang Revolusi Industri 4.0 dan era kecerdasan artifisial, meminimalisir kesenjangan digital antar wilayah.
Ancaman Kriminalisasi dan Urgensi Advokasi Sistematis
Namun, di tengah semangat inovasi dan pengembangan diri, guru menghadapi tantangan serius lain yang mengancam motivasi dan profesionalisme mereka, rapuhnya perlindungan profesi. Kasus-kasus kriminalisasi di sejumlah daerah menunjukkan betapa rentannya guru terhadap ancaman hukum, bahkan ketika mereka berusaha menegakkan kedisiplinan atau pendidikan karakter yang proporsional.
Dalam konteks ini, peran advokasi IGI menjadi sangat vital. IGI memandang perlindungan profesi bukan hanya soal pendampingan dan pembelaan di pengadilan, melainkan sebuah upaya sistematis untuk menutup “celah tafsir” yang ambigu antara Undang-Undang Perlindungan Anak dengan kewenangan pendisiplinan yang melekat pada profesi guru.
“Guru tidak boleh takut untuk mendisiplinkan secara proporsional. Jika wibawa guru terus-menerus tergerus karena ancaman hukum, maka fondasi pendidikan karakter dan moralitas akan sulit ditegakkan secara efektif di sekolah,” kata Ketua Bidang Advokasi IGI, Ahmad Kamaludin. Ia menambahkan bahwa ketakutan berlebihan ini dapat melahirkan fenomena ‘guru defensif’, di mana guru memilih mengabaikan pelanggaran demi menghindari masalah hukum.
Program advokasi IGI diperluas mencakup pendampingan legalitas status guru honorer, serta sosialisasi regulasi perlindungan guru kepada masyarakat dan aparat penegak hukum. Mereka secara konsisten mendorong pemerintah daerah untuk menerbitkan regulasi turunan yang secara eksplisit, jelas, dan tegas melindungi guru yang bertindak sesuai kode etik profesi, sehingga menciptakan ekosistem sekolah yang aman dan mendukung.
Sebaliknya, IGI tidak akan mentoleransi dan tidak akan membela guru yang terbukti melakukan pelanggaran etika berat, penyalahgunaan wewenang, atau tindakan kriminal. Bagi IGI, perlindungan profesi hanya layak diberikan kepada pendidik yang memiliki “integritas”. Advokasi bukan alat untuk mempertahankan jabatan atau kepentingan pribadi, tetapi untuk memperjuangkan keadilan bagi profesi guru.
Masa Depan Pendidikan: Sinergi Kompetensi dan Proteksi
Momentum kebangkitan guru melalui peningkatan kompetensi mandiri yang digagas IGI harus diimbangi dengan jaminan proteksi yang komprehensif dari negara dan pemangku kepentingan. Sinergi yang kuat antara organisasi profesi, Kementerian Pendidikan, pemerintah daerah, dan orang tua siswa menjadi kunci untuk memastikan guru dapat fokus pada tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, dan mencerdaskan.
Penguatan kompetensi dan jaminan perlindungan adalah dua sisi mata uang yang harus berjalan beriringan dan saling menguatkan. Tanpa guru yang terlindungi, inovasi dan kreativitas di kelas akan mandek karena dibayangi ketakutan dan keraguan. Sebaliknya, tanpa guru yang kompeten, perlindungan yang diberikan hanyalah benteng kosong tanpa isi pedagogis yang memadai.
IGI, dengan semangat pergerakannya yang unik mengutamakan self-empowerment dan advokasi yang berlandaskan data telah menunjukkan langkah nyata menuju keseimbangan krusial tersebut. Organisasi ini menjadi cermin harapan bahwa masa depan pendidikan Indonesia terletak pada kemandirian profesionalisme guru yang diimbangi dengan jaminan keselamatan profesi dari negara.
Tujuan utama IGI adalah melahirkan guru yang berkompeten, berdaya, dan bermartabat. Advokasi bukan sekedar reaksi atas masalah, melainkan strategi menciptakan ruang aman dan adil bagi guru untuk berkarya. Dengan semangat “Sharing and Growing Together“, IGI mengajak semua guru di Indonesia untuk tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pencipta perubahan-perubahan yang berawal dari kelas, berakar pada integritas, dan berbuah pada peradaban. IGI senantiasa bersinergi dan mendukung berbagai program pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan guru dan mutu pendidikan..[]
Jurnal Pase Media Online Pase