Senin , 10 Februari 2025
Home / Opini / Ganti Menteri, Ganti Kurikulum: Haruskah Guru Meradang atau Beradaptasi?

Ganti Menteri, Ganti Kurikulum: Haruskah Guru Meradang atau Beradaptasi?

Ganti Menteri, Ganti Kurikulum: Haruskah Guru Meradang atau Beradaptasi?

Oleh : Qusthalani*

Perubahan adalah keniscayaan. Dalam dunia pendidikan Indonesia, ungkapan ini terasa lebih nyata ketika terjadi pergantian menteri. Bersamaan dengan pergantian itu, sering kali muncul kurikulum baru dengan alasan memperbaiki sistem dan meningkatkan kualitas pendidikan. Fenomena ini memunculkan perdebatan di kalangan pendidik: haruskah mereka meradang atau beradaptasi?

Perubahan Kurikulum: Siklus atau Kebutuhan?

Indonesia telah mengalami berbagai perubahan kurikulum sejak masa Orde Lama hingga kini. Mulai dari Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. Setiap perubahan kurikulum membawa semangat baru yang diklaim mampu menjawab tantangan zaman. Namun, tidak jarang perubahan tersebut diwarnai oleh kritik, mulai dari kurangnya kesiapan guru hingga minimnya infrastruktur pendukung.

Salah satu akar permasalahan terletak pada seringnya perubahan kurikulum yang tidak sepenuhnya didasarkan pada evaluasi menyeluruh dari implementasi kurikulum sebelumnya. Akibatnya, para guru sering kali merasa menjadi “korban kebijakan” yang dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan. Pertanyaan utama adalah: apakah perubahan kurikulum selalu menjadi solusi terbaik, atau justru menambah kompleksitas masalah pendidikan?

Guru di persimpangan dilema, benarkah?

Ketika kurikulum baru diperkenalkan, guru sering kali menjadi pihak yang paling terdampak. Mereka diharapkan mampu memahami dan menerapkan kurikulum baru dalam waktu singkat, meskipun pelatihan yang diberikan sering kali terbatas. Kondisi ini membuat banyak guru merasa tertekan dan kehilangan motivasi. Namun, ada juga guru yang mampu melihat peluang dari perubahan tersebut, menjadikannya sebagai momentum untuk berinovasi.

Sebagai contoh, Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan beberapa tahun terakhir menekankan pembelajaran berbasis proyek dan penguatan Profil Pelajar Pancasila. Bagi guru yang adaptif, pendekatan ini membuka ruang kreativitas. Namun, bagi guru yang terbiasa dengan metode konvensional, tantangan ini terasa berat, terutama jika mereka tidak mendapatkan dukungan yang memadai.

Tapi perlukah guru meradang?

Meradang, dalam konteks ini, adalah respons wajar ketika guru merasa kebijakan pendidikan tidak berpihak kepada mereka. Beberapa alasan mengapa guru merasa frustrasi meliputi kurangnya pelibatan guru dalam Proses Penyusunan Kurikulum. Guru sering kali menjadi pelaksana kebijakan tanpa dilibatkan dalam tahap perencanaan. Padahal, mereka adalah pihak yang paling memahami kebutuhan siswa dan tantangan di lapangan. Pergantian kurikulum memerlukan pelatihan intensif. Namun, pelatihan yang diberikan sering kali bersifat formalitas tanpa memberikan pemahaman mendalam.

Infrastruktur yang tidak memadai. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, masih menghadapi keterbatasan fasilitas. Penerapan kurikulum baru yang membutuhkan teknologi atau sumber daya tambahan menjadi kendala besar.

Guru tidak hanya dituntut mengajar, tetapi juga menyelesaikan berbagai tugas administratif. Hal ini menyulitkan mereka untuk fokus pada implementasi kurikulum baru.

Solusi yang perlu dilakukan Guru !

Meradang tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, adaptasi dengan pendekatan strategis menjadi langkah terbaik. Beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk menghadapi perubahan kurikulum diantaranya, 1)meningkatkan Pelibatan Guru dalam Penyusunan Kebijakan. Pemerintah perlu melibatkan guru sebagai mitra strategis dalam merancang kurikulum. Forum diskusi, survei, dan Focus Group Discussion (FGD) dapat menjadi wadah untuk menampung aspirasi dan masukan guru.

2)Pelatihan untuk guru harus dirancang berkelanjutan, fokus pada praktik nyata, dan relevan dengan kebutuhan lokal. Pendekatan ini akan membantu guru memahami esensi kurikulum dan cara menerapkannya dengan efektif.

3)Komunitas belajar seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) perlu dioptimalkan. Di sinilah guru dapat berbagi pengalaman, belajar dari rekan sejawat, dan menemukan solusi bersama.

4)Teknologi dapat menjadi alat bantu untuk mengurangi beban guru, baik dalam pembelajaran maupun administrasi. Namun, pemerintah harus memastikan akses yang merata, terutama di wilayah terpencil.

5). Pemerintah perlu merevisi kebijakan yang membebani guru dengan tugas administratif. Dengan demikian, guru dapat lebih fokus pada pembelajaran dan pengembangan profesional.

6)Sebelum mengganti kurikulum, evaluasi yang mendalam harus dilakukan terhadap implementasi kurikulum sebelumnya. Langkah ini akan memberikan gambaran nyata tentang apa yang perlu diperbaiki dan dipertahankan.

Adaptasi terhadap perubahan memerlukan mindset yang terbuka. Guru perlu menyadari bahwa mereka adalah agen perubahan yang memiliki peran strategis dalam membentuk generasi masa depan.

Alih-alih terjebak pada tantangan, guru dapat mencari peluang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui inovasi. Guru harus menjadi pembelajar sepanjang hayat yang terus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka.

Melalui kolaborasi, guru dapat saling mendukung dan menemukan solusi untuk mengatasi hambatan dalam implementasi kurikulum.

Guru perlu mencoba pendekatan baru yang relevan dengan kurikulum dan kebutuhan siswa. Kegagalan dalam eksperimen adalah bagian dari proses pembelajaran.

Pergantian kurikulum memang sering kali menimbulkan keresahan di kalangan guru. Namun, alih-alih meradang, guru perlu membangun sikap adaptif untuk menghadapi perubahan tersebut. Pemerintah, di sisi lain, harus memastikan kebijakan yang diambil benar-benar mendukung guru sebagai ujung tombak pendidikan.

Pada akhirnya, keberhasilan implementasi kurikulum tidak hanya ditentukan oleh kebijakan, tetapi juga oleh komitmen, kolaborasi, dan kerja keras dari semua pihak yang terlibat. Dengan sikap yang solutif dan adaptif, guru dapat menjadi pilar pendidikan yang tangguh, siap menghadapi tantangan zaman, dan melahirkan generasi emas Indonesia.

*Qusthalani, Guru SMAN 1 Matangkuli, Ketua Daerah IGI Kabupaten Aceh Utara

About Redaksi

Check Also

Budaya Kerja “Meurhon Rhon”: Cerminan Tantangan Integritas di Aceh

Budaya Kerja “Meurhon Rhon”: Cerminan Tantangan Integritas di Aceh Oleh : Qusthalani* Aceh, sebagai daerah …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *