Budaya Kerja “Meurhon Rhon”: Cerminan Tantangan Integritas di Aceh
Oleh : Qusthalani*
Aceh, sebagai daerah yang kaya akan warisan budaya dan nilai-nilai adat, sering kali menghadapi berbagai dinamika dalam tatanan kehidupan sosial dan profesionalnya. Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah budaya kerja “meurhon rhon”. Dalam bahasa Aceh, meurhon rhon memiliki arti “ikut ikutan” atau meniru apa yang dilakukan orang lain tanpa mempertimbangkan dampak baik buruknya atau nilai manfaatnya. Fenomena ini, jika tidak diatasi, dapat menjadi penghalang serius bagi kemajuan masyarakat, khususnya di kalangan pejabat dan guru di Aceh.
Budaya “Meurhon Rhon” dalam Kehidupan Sehari-hari
Budaya meurhon rhon sering kali muncul karena adanya mentalitas pasif yang membiarkan diri terjebak dalam kebiasaan “ikut-ikutan.” Sebagai contoh, ketika seorang pejabat menggunakan kekuasannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, banyak bawahannya cenderung meniru perilaku tersebut. Mereka menganggap bahwa tindakan tersebut wajar karena dilakukan oleh atasan.
Di kalangan guru, budaya ini juga terlihat dalam cara mengajar dan menjalankan tugas. Misalnya, beberapa guru lebih memilih metode pengajaran konvensional yang hanya mengandalkan ceramah karena metode ini telah lama digunakan oleh pendahulunya. Mereka jarang mengeksplorasi metode baru yang lebih relevan dan inovatif, meskipun kurikulum Merdeka mendorong adanya pendekatan yang kreatif dan kontekstual.
Budaya meurhon rhon sering kali didorong oleh rasa takut akan perubahan, ketergantungan pada sistem yang ada, dan kurangnya keberanian untuk bersikap kritis. Selain itu, pola pikir ini juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang cenderung menghargai keseragaman dibandingkan dengan keberanian untuk berinovasi.
Dampak Budaya “Meurhon Rhon” pada Pejabat
Di tingkat pemerintahan, budaya meurhon rhon menjadi tantangan besar dalam menciptakan tata kelola yang baik (good governance). Banyak pejabat yang lebih memilih untuk “mengikuti arus” daripada mengambil langkah progresif yang dapat membawa perubahan positif.
Sebagai contoh, alokasi anggaran untuk pendidikan atau infrastruktur sering kali didasarkan pada kebijakan terdahulu tanpa evaluasi mendalam. Akibatnya, masalah seperti banjir yang sering melanda sekolah-sekolah di Aceh, termasuk SMA Negeri 1 Matangkuli, tidak pernah mendapatkan solusi yang berkelanjutan. Pejabat yang seharusnya menjadi pengambil keputusan strategis malah terjebak dalam rutinitas administratif tanpa inovasi.
Lebih buruk lagi, budaya ini juga dapat memicu praktik korupsi dan nepotisme. Ketika seorang pejabat melihat koleganya terlibat dalam tindakan korupsi tanpa konsekuensi, ia cenderung merasa bahwa tindakan serupa juga dapat diterima. Pola ini menciptakan siklus negatif yang sulit dipecahkan, di mana integritas pejabat semakin tergerus.
Budaya “Meurhon Rhon” di Kalangan Guru
Sebagai pilar pendidikan, guru memiliki tanggung jawab besar dalam mencetak generasi yang kritis, kreatif, dan inovatif. Namun, budaya meurhon rhon sering kali menjadi hambatan dalam menjalankan peran ini.
Dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka, misalnya, banyak guru yang masih menggunakan metode lama tanpa mencoba pendekatan baru yang ditawarkan oleh kurikulum ini. Mereka merasa nyaman dengan cara mengajar tradisional, seperti ceramah satu arah, tanpa memberikan ruang bagi siswa untuk belajar secara aktif dan mandiri.
Selain itu, fenomena ini juga terlihat dalam pengembangan diri guru. Sebagian besar guru enggan mengikuti pelatihan atau seminar yang dapat meningkatkan kompetensi mereka. Mereka lebih memilih untuk mengikuti pola kerja yang sudah ada, meskipun hal tersebut tidak relevan dengan tantangan zaman.
Budaya ini tidak hanya berdampak pada kualitas pendidikan, tetapi juga pada motivasi siswa. Ketika siswa melihat gurunya tidak bersemangat dalam mengajar atau tidak memiliki inovasi dalam metode pembelajaran, mereka cenderung kehilangan minat belajar.
Beberapa faktor yang mendorong munculnya budaya meurhon rhon antara lain:
1. Kurangnya Kepemimpinan Visioner
Pejabat dan pemimpin yang tidak memiliki visi jangka panjang sering kali menjadi penyebab utama budaya ini. Mereka hanya fokus pada pencapaian jangka pendek tanpa memperhatikan dampak strategis dari keputusan yang diambil.
2. Ketidakadilan Sistemik
Sistem yang tidak transparan dan cenderung memberikan keuntungan kepada kelompok tertentu memicu rasa apatis di kalangan masyarakat. Akibatnya, banyak individu yang memilih untuk “ikut-ikutan” daripada berusaha memperbaiki sistem.
3. Rendahnya Budaya Literasi
Kurangnya kesadaran akan pentingnya literasi, baik di kalangan pejabat maupun guru, menyebabkan minimnya inovasi dalam berbagai aspek kehidupan.
4. Tekanan Sosial dan Kultural
Di Aceh, tekanan sosial untuk mematuhi norma dan tradisi sering kali membuat individu merasa sulit untuk bersikap berbeda.
Solusi Mengatasinya
1. Meningkatkan Kesadaran Individu
Edukasi tentang pentingnya berpikir kritis dan bertanggung jawab dalam setiap tindakan harus menjadi prioritas. Kampanye publik dan pelatihan khusus dapat membantu mengubah pola pikir masyarakat.
2. Menciptakan Pemimpin yang Inspiratif
Kepemimpinan yang visioner dan berintegritas adalah kunci untuk mengubah budaya kerja. Pemimpin harus menjadi teladan dalam mengambil keputusan yang berorientasi pada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
3. Reformasi Sistemik
Perbaikan sistem manajemen pemerintahan dan pendidikan harus dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan transparansi.
4. Mengintegrasikan Nilai Lokal dalam Pendidikan
Budaya Aceh yang kaya akan nilai-nilai positif, seperti peusijuek dan gotong royong, dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan untuk membentuk karakter siswa yang lebih kuat.
5. Pengembangan Profesional Guru
Program pengembangan profesional harus lebih sering dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru. Hal ini mencakup pelatihan tentang metode pembelajaran inovatif, teknologi pendidikan, dan evaluasi berbasis diferensiasi.
Budaya kerja “meurhon rhon” adalah refleksi dari tantangan integritas yang masih dihadapi oleh masyarakat Aceh, baik di tingkat pemerintahan maupun pendidikan. Fenomena ini bukan hanya persoalan individu, tetapi juga sistemik, yang memerlukan pendekatan holistik untuk mengatasinya.
Dengan meningkatkan kesadaran individu, menciptakan pemimpin inspiratif, serta melakukan reformasi sistemik, Aceh dapat keluar dari jerat budaya ini. Nilai-nilai lokal yang positif, jika dimanfaatkan dengan baik, dapat menjadi landasan untuk menciptakan masyarakat yang kritis, inovatif, dan bertanggung jawab. Semangat untuk berubah harus dimulai dari diri sendiri, karena setiap langkah kecil menuju perbaikan adalah bagian dari perjalanan panjang menuju Aceh yang lebih maju dan bermartabat.
*Qusthalani, Guru SMAN 1 Matangkuli, Ketua IGI Kabupaten Aceh Utara