Berpikir Kesejahteraan, Beek Keu Mangat Asoe Pruet Droe
Oleh : Qusthalani
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, nilai-nilai sosial sering kali menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu pepatah yang sering digaungkan adalah beek keu mangat asoe pruet droe. Secara harfiah, pepatah ini berarti “jangan hanya mencari keuntungan untuk diri sendiri,” tetapi secara lebih luas, ini mengingatkan kita untuk tidak bersikap egois dan mengutamakan kepentingan bersama. Konsep ini relevan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan, khususnya dalam isu yang belakangan menjadi perbincangan hangat, yaitu pelaksanaan Asesmen Kompetensi Guru (AKG).
Pelaksanaan AKG bertujuan untuk mengukur kompetensi guru dan wacana menjadi pertimbangan kebijakan pemenuhan jam mengajar, pemberian tunjangan profesi guru (TPG), dan peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Namun, kenyataannya, wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan guru. Sebagian pihak menolak pelaksanaan AKG dengan alasan bahwa hal ini adalah kesesatan dan berpotensi menciptakan ketidakadilan atau tambah kerjaan saja. Sebaliknya, ada pula pihak yang mendukung langkah ini sebagai bentuk keadilan bagi guru-guru yang telah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) tetapi belum mendapat kesempatan memenuhi jam mengajar yang cukup untuk memperoleh TPG.
Mengurai Akar Masalah: Ketimpangan Jam Mengajar
Masalah ketimpangan jam mengajar menjadi salah satu isu yang kerap muncul di kalangan guru. Guru yang telah lulus PPG, yang seharusnya diprioritaskan dalam pembagian jam mengajar, sering kali harus mengalah kepada guru-guru senior yang lebih dulu menjabat meskipun tidak memiliki sertifikasi. Akibatnya, banyak guru PPG yang bertahun-tahun tidak dapat menikmati TPG karena kekurangan jam mengajar. Di sisi lain, ada pula guru yang enggan mengikuti PPG atau belum memenuhi syarat untuk mengikutinya.
Fenomena ini menimbulkan ketidakadilan struktural di dunia pendidikan. Guru-guru yang telah berjuang keras menyelesaikan PPG dan lulus AKG merasa dirugikan karena tidak dapat memperoleh hak mereka, sedangkan guru lain yang nilai rendah dalam AKG tetap mendapatkan keuntungan hanya karena faktor senioritas. Dalam konteks ini, penolakan terhadap AKG mencerminkan sikap beek keu mangat asoe pruet droe, di mana sebagian pihak lebih memikirkan kenyamanan dan keuntungan pribadi dibandingkan keadilan secara keseluruhan.
AKG sebagai Langkah Keadilan dan Profesionalisme Guru
Pelaksanaan AKG sebenarnya merupakan langkah positif untuk menciptakan keadilan dan meningkatkan profesionalisme guru. Dengan adanya asesmen ini, kualitas dan kompetensi guru dapat terukur secara objektif, sehingga pembagian jam mengajar dapat dilakukan secara lebih adil. Guru yang memiliki nilai AKG tinggi tentunya berhak mendapatkan prioritas, terlepas dari status senioritas mereka.
Selain itu, AKG juga mendorong guru untuk terus meningkatkan kualitas diri. Kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian guru menjadi aspek penting yang dinilai dalam AKG. Hal ini diharapkan dapat menciptakan atmosfer kompetitif yang sehat di kalangan guru, di mana setiap individu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kepentingan peserta didik.
Namun, untuk mencapai tujuan ini, pelaksanaan AKG harus dilakukan dengan transparan dan akuntabel. Pemerintah perlu memastikan bahwa instrumen AKG dirancang secara objektif dan sesuai dengan standar kompetensi guru. Selain itu, hasil AKG harus digunakan secara adil untuk menentukan pembagian jam mengajar dan pemberian TPG, tanpa diskriminasi berdasarkan status kepegawaian atau latar belakang lainnya.
Menyikapi Penolakan terhadap AKG
Penolakan terhadap AKG sebenarnya mencerminkan resistensi terhadap perubahan yang kerap terjadi dalam sistem pendidikan. Sebagian guru merasa keberatan karena pelaksanaan AKG dianggap hanya menambah beban kerja dan menuntut persiapan yang lebih banyak. Padahal, jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, AKG justru menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru.
Penolakan ini juga dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap tujuan dan manfaat AKG. Banyak guru yang belum sepenuhnya menyadari bahwa AKG adalah bagian dari upaya untuk menciptakan keadilan, bukan sekadar formalitas administratif. Oleh karena itu, sosialisasi yang intensif perlu dilakukan oleh pihak pemerintah dan dinas pendidikan. Guru harus diberikan pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya AKG dan bagaimana hal ini dapat membantu mereka dalam jangka panjang.
Membangun Kesadaran Kolektif: Dari Egoisme ke Solidaritas
Sikap beek keu mangat asoe pruet droe harus diubah menjadi kesadaran kolektif untuk bekerja sama demi kepentingan bersama. Dalam konteks AKG, semua pihak harus menyadari bahwa tujuan utama dari asesmen ini adalah untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan berkualitas. Guru yang merasa dirugikan oleh ketimpangan jam mengajar harus didukung, sementara guru yang menolak AKG harus diajak untuk melihat manfaat jangka panjang dari pelaksanaan asesmen ini.
Selain itu, pemerintah juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa kebijakan AKG tidak hanya menjadi beban tambahan bagi guru. Dukungan berupa pelatihan, bimbingan teknis, dan fasilitas pendukung harus diberikan untuk membantu guru mempersiapkan diri menghadapi AKG. Dengan demikian, pelaksanaan AKG dapat diterima secara luas dan dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pepatah beek keu mangat asoe pruet droe mengingatkan kita untuk tidak hanya memikirkan keuntungan pribadi, tetapi juga kepentingan bersama. Dalam konteks pelaksanaan AKG, pepatah ini relevan untuk mengkritik sikap sebagian pihak yang menolak asesmen ini hanya karena takut kehilangan kenyamanan atau merasa terbebani.
AKG adalah langkah strategis untuk menciptakan keadilan bagi guru dan meningkatkan profesionalisme dalam dunia pendidikan. Dengan dukungan semua pihak, baik pemerintah, dinas pendidikan, maupun para guru, diharapkan AKG dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketimpangan yang selama ini terjadi. Mari bersama-sama membangun sistem pendidikan yang lebih adil, berkualitas, dan berorientasi pada kepentingan bersama, bukan sekadar keuntungan pribadi.
*Qusthalani, Guru SMAN 1 Matangkuli, Ketua IGI Aceh Utara