Senin , 10 Februari 2025
Home / Pendidikan / Obsesi Kompulsif Menggerogoti Pejabat Kita

Obsesi Kompulsif Menggerogoti Pejabat Kita

Di tengah hiruk-pikuk dunia politik, ada fenomena yang sering luput dari perhatian: obsesi kompulsif akan kekuasaan. Fenomena ini tidak hanya merugikan tatanan pemerintahan, tetapi juga masyarakat luas. Obsesi ini, dalam dunia psikologi, sering kali diasosiasikan dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD), meskipun dalam konteks ini kita menggunakan istilah tersebut secara metaforis untuk menggambarkan perilaku negatif seorang pejabat yang terjebak dalam hasrat tak terkendali untuk terus berkuasa.

Mari kita bayangkan seorang pejabat yang awalnya dikenal sebagai sosok idealis, berkomitmen memperjuangkan perubahan dan kemajuan daerahnya. Dia berhasil menduduki kursi kekuasaan melalui proses demokrasi yang sah, mendapatkan dukungan dari rakyat karena visi dan program-program yang menjanjikan. Namun, seiring berjalannya waktu, pejabat ini mulai berubah. Kekuasaan yang semula dianggap sebagai amanah, lambat laun menjadi candu.

Awal Mula Obsesi

Awalnya, obsesi ini muncul secara halus. Pejabat tersebut merasa perlu menunjukkan bahwa dirinya adalah pemimpin yang efektif. Dia bekerja keras, mengawasi setiap proyek, dan memastikan semua program berjalan sesuai rencana. Namun, upayanya untuk selalu menjadi “yang terbaik” mulai berubah menjadi obsesi ketika dia merasa bahwa kekuasaannya terancam oleh pesaing politik atau opini publik yang tidak menguntungkan.

Pejabat ini mulai mengembangkan pola pikir “hanya saya yang mampu memimpin“. Dia merasa tidak ada orang lain yang cukup kompeten untuk menggantikan posisinya. Keyakinan ini melahirkan rasa takut akan kehilangan kekuasaan. Ketakutan tersebut kemudian memengaruhi seluruh tindakannya, membuatnya terjebak dalam siklus perilaku obsesif-kompulsif.

Dalam usaha mempertahankan kekuasaan, pejabat ini mulai menggunakan segala cara, termasuk yang tidak etis. Dia mulai memanipulasi opini publik melalui propaganda, mengontrol media lokal, dan bahkan menciptakan narasi yang menggiring masyarakat untuk percaya bahwa dirinya adalah “pilihan terbaik“.

Tindakan kompulsifnya semakin terlihat ketika dia mulai merusak sistem demokrasi. Contohnya adalah memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadinya, memperalat aparat penegak hukum untuk membungkam kritik terhadapnya, hingga memalsukan data pencapaian kerja.

Dalam tahap ini, obsesinya terhadap kekuasaan telah mengaburkan batas antara yang benar dan salah. Dia tidak lagi peduli pada konsekuensi jangka panjang dari tindakannya, baik bagi masyarakat maupun bagi institusi yang dia pimpin.

Perilaku obsesif-kompulsif seperti ini memiliki dampak yang luas terhadap pemerintahan. Pertama, sistem demokrasi yang seharusnya menjadi landasan pemerintahan yang transparan dan akuntabel menjadi rusak. Pemilu yang seharusnya berlangsung jujur dan adil berubah menjadi ajang manipulasi.

Kedua, pejabat ini sering kali memprioritaskan program-program yang hanya memberikan keuntungan jangka pendek demi popularitasnya. Proyek-proyek infrastruktur yang kurang strategis sering kali dipaksakan demi menunjukkan “kesuksesan“, meskipun anggarannya membengkak dan kualitasnya dipertanyakan.

Ketiga, loyalitas pejabat di bawahnya bergeser dari profesionalisme menjadi sekadar “siapa yang bisa mendukung saya tetap berkuasa“. Hal ini menciptakan budaya kerja yang tidak sehat, di mana kompetensi sering kali diabaikan demi kepatuhan buta.

Di sisi lain, obsesi ini juga memengaruhi hubungan sosial sang pejabat. Teman-teman dekat yang berusaha mengingatkan tentang bahaya ambisinya mulai dianggap sebagai ancaman. Keluarga yang semula menjadi sumber dukungan justru sering kali diabaikan.

Pejabat ini hidup dalam dunia yang penuh kecurigaan. Dia mulai mempercayai bahwa setiap orang di sekitarnya memiliki agenda tersembunyi untuk menjatuhkannya. Akibatnya, dia semakin terisolasi, hanya dikelilingi oleh orang-orang yang menyanjungnya tanpa henti, meskipun sanjungan tersebut tidak tulus.

Mengapa Ini Terjadi?

Pertanyaannya adalah, mengapa seorang pejabat bisa terjebak dalam obsesi kompulsif seperti ini? Salah satu jawabannya adalah sistem yang memungkinkan pejabat tersebut untuk terus berkuasa tanpa pengawasan yang memadai.

Di banyak negara, termasuk di Indonesia, budaya politik sering kali tidak mendukung prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, absennya batasan masa jabatan atau lemahnya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan wewenang juga menjadi faktor yang memfasilitasi perilaku semacam ini.

Faktor psikologis juga berperan. Kekuasaan sering kali memberikan rasa euforia dan kontrol yang sulit ditinggalkan. Bagi individu tertentu, kehilangan kekuasaan dapat dirasakan sebagai kehilangan identitas atau harga diri. Hal ini terutama terjadi pada mereka yang mendasarkan nilai dirinya pada status dan posisi sosial.

Upaya Mengatasi

Untuk mencegah fenomena ini, diperlukan langkah-langkah yang sistematis. Pertama, sistem politik dan hukum harus diperkuat agar pejabat tidak memiliki peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan independen harus menjadi prioritas.

Kedua, masyarakat juga perlu diberdayakan untuk lebih kritis terhadap pemimpinnya. Pendidikan politik yang baik akan membantu masyarakat memahami pentingnya demokrasi yang sehat dan tidak tergoda oleh propaganda.

Ketiga, dari sisi individu, para pemimpin harus diberikan pelatihan tentang pentingnya kesehatan mental, termasuk cara mengelola ambisi dan tekanan politik. Dengan demikian, mereka dapat menjaga keseimbangan antara tanggung jawab profesional dan kesejahteraan pribadi.

Obsesi kompulsif terhadap kekuasaan adalah penyakit yang tidak hanya merusak individu, tetapi juga tatanan sosial dan politik. Dalam konteks ini, kita tidak hanya membutuhkan pejabat yang kompeten, tetapi juga mereka yang memiliki integritas dan kesadaran akan batasan kekuasaan mereka.

Hanya dengan demikian, kita dapat menciptakan pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada nilai-nilai yang mendukung kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk memenuhi ambisi pribadi.[]

About Redaksi

Check Also

Berpikir Kesejahteraan, Beek Keu Mangat Asoe Pruet Droe

Berpikir Kesejahteraan, Beek Keu Mangat Asoe Pruet Droe Oleh : Qusthalani Dalam kehidupan masyarakat Aceh, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *